Friday, 21 May 2010

Lapisan Kasta (caturwarna)

Dalam periode Mataram Kuno memang dikenal sistem pelapisan sosial yang bersumber dari agama Hindu, yakni sistem kasta yang disebut caturwarna (brahmana, ksatrya, waisya, sudra) yang menegaskan terdapatnya elite agama dan politik yang menempati kedudukan istimewa, tetapi menurut Rahardjo, “Mengingat sistem ini datang dari masyarakat luar, masih menjadi persoalan bagaimana sistem ini diterapkan dalam kehidupan di tanah jawa ini pada periode Mataram Kuno”. Apalagi pada masa yang sama, agama Budhha Mahayana tersebar luar, sedangkan dalam agama ini caturwarna tidak dikenal, setidaknya tidak diakui. Masih ditambah dengan terdapatnya sistem pelapisan sosial dalam tradisi Jawa sebelum masuknya agama Hindu. Rahardjo juga menyebutkan, dalam tradisi agama Hindu, mengutip Pigeud yang mengacu kepada Nagarakrtagama,” Ada kecenderungan untuk menciptakan pelapisan tambahan yang khusus dibuat bagi anggota masyarakat dari golongan yang dinilai lebih rendah (kujanmatraya) yang dikenal dengan sebutan kaum chandala, mleccha, dan tuccha.”

Chandala adalah masyarakat dari lapisan sosial yang paling rendah, yakni di bawah sudra. Jadi tergolong paria atau tanpa kasta. Namun dalam arthasastra masyarakat tanpa kasta ini masih di bagi-bagi lagi, dan yang terendah adalah mleccha. Tentang penerapan kasta masa jawa kuno, Rahardjo berpendapat; pembagian masyarakat dalam empat kategori menurut tatanan masyarakat Hindu dikenal dengan istilah Caturwarna (empat rupa), mewakili susunan hierarkis tertinggi hingga terendah. Di jawa, penyebutan keempat golongan masyarakat itu telah ditulis sejak tahun 873 dalam prasasti Wahari I, sedang istilah caturwarna baru disebut tahun 901 dalam prasasti Taji. Penyebutan kelompok caturwarna tersebut selalu ditulis dalam hubungannya dengan pihak-pihak yang dapat dikenai kutukan dalam upacara penetapan sima. Mengingat penetapan sima umumnya terjadi di lingkungan pedesaan, maka sebagai konsep tentunya juga diketahui oleh masyarakat desa. Namun tetap belum diketahui seberapa jauh gagasan tersebut diterapkan di lingkungan pedesaan. Terdapat tidak kurang dari 14 prasasti menyebut kelompok caturwarna dapat memwakili seluruh lapisan masyarakat, penyebutan itu tidak pernah digunakan sebagai salah satu-satunya untuk mengambarkan totalitas masyarakat, melainkan hanya satu kategori saja dari kelompok-kelompok masyarakat lainnya.


ShoutMix chat widget

About Borobudur

Jacques Dumarcay menyebutkan, antara tahun 795 - 800, ketika masih di bangun Candi Borobudur kena pengaruh agama Buddha. Bangunannya dirombak, antara lain efek perspektif dihilangkan; dalam "Bentuk Kedua Candi Lumbung dan Bima" dalam Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary, Panggung Sejarah Persembahan kepada Prof. Denys Lombard (1999), h. 415-22. Berdasarkan kajian arsitektural, banyak candi yang semula tidak berciri buddhis disesuaikan ketika sedang dibangun, atau dirombak ketika sudah selesai, ketika penyebaran Buddha tiba dan diterima di suatu lokasi tertentu. Candi Borobudur bukan perkecualian, meski ini tentu adalah hipotesis. Penulis mempertimbangkan bahwa politik agama mempengaruhi para pekerja, dan tentu juga kelancaran pembangunannya.

Ada spekulasi, bahwa Dinasti Syailendra, jika dirunut secara tidak langsung ke India, disebut bersepupu dengan Dinasti Chandela, yang meniggalkan sejumlah monumen antara abad VII dan VIII, terutama kuil-kuil Khajuraho. Suatu keretakan dalam keluarga pecah antra yang tetap memeluk Hindu dengan yang berpindah ke agalam Buddha. Maka Dinasti Chandella tetap tinggal di Khajuraho, dan cabang keluarga Syaelendra yang telah menganut buddha berangkat berlayar ke selatan – ini berlangsung pada abad IV. Namun cerita macam ini sudah lama ditolak, misalnya melalui Louis-Charles Damais, “tulisan-tulisan asal India” dalam epigrafi dan sejarah Nusantara (1995)., h. 3-25. Meski begitu. Candi Borobudur yang disebut berasal dari kata Bhumisambharabudhara (tak pernah ada bukti tertulis tentang kata “budhara”, sehingga Slamet Muljana menolak spekulasi semacam ini), yang dianggap mendua dalam pengungkapan keagamaan, karena ambiguitas posisi Dinasti Syaelendra antara Hinduisme dan Budhhisme, tetaplah proposisi menarik.

Pekerjaan yang mengawali pembangunan sebuah monumen, berupa penentuan sebuah letak dasar monumen tersebut di lapangan. Dalam hal Candi Sewu dan Candi Borobudur, para pembangun menentukan dulu letak kedua sumbu candi. Sudut-sudut candi ditentukan kemudian sebagai titik potong garis-garis yang tegak lurus pada sumbu-sumbu.

Dalam perbincangan tentang Candi Borobudur, tidak menyinggung kemungkinan yang sama, bahwa perubahan politik agama mengubah arsitektural dan kontruksi bangunan.

Analisis mengutip Cumarcay, yang menulis “… suatu gerakan besar telah mulai dibidang arsitektural dan ikonografi, sedemikian rupa hingga seluruh perlambangan dalam arsitektur daerah itu dirombak. Aliran budaya itu agaknya diikuti gerakan politik, sebab bentuk-bentuk baru itu diterapkan di Borobudur dan di beberapa bangunan yang berkaitan dengannya”, dengan penyesuaian, “arsitektur” menjadi “rancang bangun”, “perspektif” menjadi “kedalaman”, “kontruksiz” memjadi “kerangka bangungan”.

Sebuah candi terdiri atas sejumlah lapisan batu mendatar (course, layer). Kalau perlu permukaan atas yang benar-benar rata, misalnya sebagai landasan cungkup, maka ditambahkan lapisan perata (laveling course). Di bawah batu lantai kadang-kadang dipakai lapisan urukan (libage, Fr) sebagai landasan yang kuat dan rata, seperti di selasar Candi Borobudur. Pada bidang vertikal pernah di pakai lapisan tempelan (placage, Fr) untuk menutupi hiasan atau mempertebal susunan batu. Pelipit (corona) = pelipit atas merupakan unsur dari bingkai atas batur atau tubuh candi (cornice); pelipit bawah (plint) adalah bingkai terbawah pada batur atau kuku candi; Takuk = bentuk khusus potongan batu tempat satu sisi batu di pahat sedemikian rupa, sehingga diperoleh dua bidang yang berbeda ketinggian, teknik takuk keling atau takuk sejajar dengan dinding luar, merupakan salah satu sistem pertautan lapisan-lapisan batu yang dipakai di Candi Sewu.

 

Sistem Abjad Sunda

Ha - Na - Ca - Ra

Ka - Da - Ta - Sa - Wa - La

P - Dh - J - Y - Ny

M - G - B - Th - Ng

Penamaan hari pada jaman jawa kuno

  1. Soma (senin)
  2. Anggara (selasa)
  3. Buda (rabu)
  4. Respati (kamis)
  5. Sukra (jumat)
  6. Sanaicara (sabtu)
  7. Aditya (minggu)

Sunday, 9 May 2010

Berbagai profesi di jaman jawa kuno

  1. mapadahi (pemukul kendang)
  2. widu mangidung (penyanyi)
  3. pamanikan (pengrajin permata)
  4. limus galuh (pengrajin emas)
  5. payungan (pembuat payung)
  6. tuhan judi (pemimpin perjudian)
  7. tuhan jalir (pengelola pelacuran)
  8. padam apuy (pemadam api)
  9. walyan (dukun)
  10. wli hapu (pedagang kapur)
  11. wli hareng (pedagang arang)
  12. tuha dagang (ketua kelompoj dagang)

Jenis-jenis istilah kejahatan di masa jawa kuno

  1. tan kasahuraning pihutang (tidak membayar kembali utang)
  2. tan kawahaning patuwawa (tidak membayar uang jaminan)
  3. adwal tan drwya (menjual barang yang tidak dimiliki)
  4. tan kaduman ulihing kinabehan (tidak kebagian hasil kerjasama, atau persengketaan antar kopanyon)
  5. karuddhani huwus winehaken (minta kembali apa yang telah diberikan)
  6. tan kawehaning upahan (tidak memberi upah atau imbalan)
  7. adwa ring samaya (ingkar janji)
  8. alarambeknyan pamelinya (pembatalan transaksi jual beli)
  9. wiwadaning pinanwaken mwang mangwan (persengketaan antara pemilik ternak dengan penggebalanya)
  10. kahucapaning wates (persengketaan mengenai batas-batas tanah)
  11. dandaning saharsya wakparusya (hukuman atas penghinaan dan makian)
  12. pawrtining maling (pencurian)
  13. ulah sahasa (tindak kekerasan)
  14. ulah tan yogyaring laki stri ( perbuatan tidak pantas terhadap suami-istri)
  15. kadumaning drwya (pembagian hak milik atau pembagian warisan)
  16. totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian)

Penamaan Bulan Pada Tahun Saka

Nama-nama bulan pada jaman jawa kuno (tahun saka) :
  • Magha (januari-februari)
  • Phalguna (februari-maret)
  • Caitra (maret-april)
  • Waisaka (april-mei)
  • Jyesta (mei-juni)
  • Asadha (juni-juli)
  • Srawana (juli-agustus)
  • Bhadrapada (agustus-september)
  • Asuji (september-oktober)
  • Kartika (oktober-November)
  • Pausa (november-desember)
  • Margasirsa (desember-januari)