Friday, 24 September 2010
Rajah Pamunah
Ka Gusti nu Welas Asih
Gusti pamuntangan beurang
Gusti pamuntangan peuting
Nu ngobahkeun nu ngusik
Wednesday, 18 August 2010
Pangapungan
Watu gilang sang Niskala baheula
Baheula sabale gandrung,
sa Sunda sa Siliwangi
Gemah Ripah Kerta Mukti... Raden
Naha atuh kiwari geningan sagala gati... deuh
Bongana pahiri-hiri,
Parebut dipayung tangtung
Pagirang-girang tampian,
Calik girang gede ajang
Naha alok henteu nyaho,
Somah nu lara balangsak
Geuning duh kaniaya
Nya urang papantunan,
Baheula sa Padjadjaran, sa Prabu, sa Balegandrung
Nu Gandrung ka Sunda tandang... duh
Urang mindeng jejemplangan,
Ngajmelplang jemplingkeun diri... Raden
Ulah rek kabareurangan
Si Pelung ngalingkung lembur,
hudang urang rarancangan
Rancag batan kuda lumpat,
tarikna ku dedegungan
Kebat ka Bale Rancage,
hayu di ditu gebur gumebyar.
reunggeukeun Padjadjaran tangara
Mangsa mapag jaman anyar,
mangsana ki Sunda TAndang
Rempug jukung sauyunan.. duh
Tembongkeun ajen wewesan
Satria nu Pinandita... raden
Teuas peureup lemes usap,
Pageuh keupreul lega awur
Silih asah silih asih,
Bari adil paramarta
Sinatria pilih tanding,
Raden tedak Pasundan.
Sunda Mekar
Ciri bumi dayeuh panca tengah
Lemah duhurna,
Lemah lengkobna,
Lemah padataranana.
Nagara mukti wibawa,
Perlambangna congkrang Kujang Padjadjaran,
Yasana para deweata,
Teu sulaya ti nyatana.
Kidung
Bayu tresna bayu asih
Bayu mawat kawaluyaan,
Bayu mawat kaelingan
Sakur nu kaliwatan,
Sakur nu katitincakan
urang buka tutungkusan,
Nu kahalang ku pipinding,
Dina gebang sewu lontar, Dina tulis titis tulis,
Maca uga nu waruga
Atra setra kanti sukma,
Amin ya Robbal Alamiin
Rajah
Ka Gusti nu Maha Suci
Neda pangjiad pangaraksa,
Para Abdi-abdi Seni
Seja ngaguar laratan,
Titis Waris Nini Aki
Ngembatkeun jalan laratan,
Katampian geusan mandi,
Ka leuwi Sipatuhanan,
Leuwi nu ngaruncang diri
Diri anu Sakiwari,
Rek muru lurungan tujuh
Ngaliwat ka Padjadjaran,
Bongan hayang pulang anting
Padungdengan padungdengan
Jeng usikna pangancikan
Pun... Sapun... !
Sampurasun karumuhun,
Ka Hiyang Prabu Silihwangi,
Nu Murba di Padjadjaran,
Pangauban seweu siwi
Nu Gelar di tatar Sunda,
Muga nyebarkeun wawangi.
Friday, 21 May 2010
Lapisan Kasta (caturwarna)
Dalam periode Mataram Kuno memang dikenal sistem pelapisan sosial yang bersumber dari agama Hindu, yakni sistem kasta yang disebut caturwarna (brahmana, ksatrya, waisya, sudra) yang menegaskan terdapatnya elite agama dan politik yang menempati kedudukan istimewa, tetapi menurut Rahardjo, “Mengingat sistem ini datang dari masyarakat luar, masih menjadi persoalan bagaimana sistem ini diterapkan dalam kehidupan di tanah jawa ini pada periode Mataram Kuno”. Apalagi pada masa yang sama, agama Budhha Mahayana tersebar luar, sedangkan dalam agama ini caturwarna tidak dikenal, setidaknya tidak diakui. Masih ditambah dengan terdapatnya sistem pelapisan sosial dalam tradisi Jawa sebelum masuknya agama Hindu. Rahardjo juga menyebutkan, dalam tradisi agama Hindu, mengutip Pigeud yang mengacu kepada Nagarakrtagama,”
Chandala adalah masyarakat dari lapisan sosial yang paling rendah, yakni di bawah sudra. Jadi tergolong paria atau tanpa kasta. Namun dalam arthasastra masyarakat tanpa kasta ini masih di bagi-bagi lagi, dan yang terendah adalah mleccha. Tentang penerapan kasta masa jawa kuno, Rahardjo berpendapat; pembagian masyarakat dalam empat kategori menurut tatanan masyarakat Hindu dikenal dengan istilah Caturwarna (empat rupa), mewakili susunan hierarkis tertinggi hingga terendah. Di jawa, penyebutan keempat golongan masyarakat itu telah ditulis sejak tahun 873 dalam prasasti Wahari I, sedang istilah caturwarna baru disebut tahun 901 dalam prasasti Taji. Penyebutan kelompok caturwarna tersebut selalu ditulis dalam hubungannya dengan pihak-pihak yang dapat dikenai kutukan dalam upacara penetapan sima. Mengingat penetapan sima umumnya terjadi di lingkungan pedesaan, maka sebagai konsep tentunya juga diketahui oleh masyarakat desa. Namun tetap belum diketahui seberapa jauh gagasan tersebut diterapkan di lingkungan pedesaan. Terdapat tidak kurang dari 14 prasasti menyebut kelompok caturwarna dapat memwakili seluruh lapisan masyarakat, penyebutan itu tidak pernah digunakan sebagai salah satu-satunya untuk mengambarkan totalitas masyarakat, melainkan hanya satu kategori saja dari kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
About Borobudur
Ada spekulasi, bahwa Dinasti Syailendra, jika dirunut secara tidak langsung ke India, disebut bersepupu dengan Dinasti Chandela, yang meniggalkan sejumlah monumen antara abad VII dan VIII, terutama kuil-kuil Khajuraho. Suatu keretakan dalam keluarga pecah antra yang tetap memeluk Hindu dengan yang berpindah ke agalam Buddha. Maka Dinasti Chandella tetap tinggal di Khajuraho, dan cabang keluarga Syaelendra yang telah menganut buddha berangkat berlayar ke selatan – ini berlangsung pada abad IV. Namun cerita macam ini sudah lama ditolak, misalnya melalui Louis-Charles Damais, “tulisan-tulisan asal
Pekerjaan yang mengawali pembangunan sebuah monumen, berupa penentuan sebuah letak dasar monumen tersebut di lapangan. Dalam hal Candi Sewu dan Candi Borobudur, para pembangun menentukan dulu letak kedua sumbu candi. Sudut-sudut candi ditentukan kemudian sebagai titik potong garis-garis yang tegak lurus pada sumbu-sumbu.
Dalam perbincangan tentang Candi Borobudur, tidak menyinggung kemungkinan yang sama, bahwa perubahan politik agama mengubah arsitektural dan kontruksi bangunan.
Analisis mengutip Cumarcay, yang menulis “… suatu gerakan besar telah mulai dibidang arsitektural dan ikonografi, sedemikian rupa hingga seluruh perlambangan dalam arsitektur daerah itu dirombak. Aliran budaya itu agaknya diikuti gerakan politik, sebab bentuk-bentuk baru itu diterapkan di Borobudur dan di beberapa bangunan yang berkaitan dengannya”, dengan penyesuaian, “arsitektur” menjadi “rancang bangun”, “perspektif” menjadi “kedalaman”, “kontruksiz” memjadi “kerangka bangungan”.
Sebuah candi terdiri atas sejumlah lapisan batu mendatar (course, layer). Kalau perlu permukaan atas yang benar-benar rata, misalnya sebagai landasan cungkup, maka ditambahkan lapisan perata (laveling course). Di bawah batu lantai kadang-kadang dipakai lapisan urukan (libage, Fr) sebagai landasan yang kuat dan rata, seperti di selasar Candi Borobudur. Pada bidang vertikal pernah di pakai lapisan tempelan (placage, Fr) untuk menutupi hiasan atau mempertebal susunan batu. Pelipit (corona) = pelipit atas merupakan unsur dari bingkai atas batur atau tubuh candi (cornice); pelipit bawah (plint) adalah bingkai terbawah pada batur atau kuku candi; Takuk = bentuk khusus potongan batu tempat satu sisi batu di pahat sedemikian rupa, sehingga diperoleh dua bidang yang berbeda ketinggian, teknik takuk keling atau takuk sejajar dengan dinding luar, merupakan salah satu sistem pertautan lapisan-lapisan batu yang dipakai di Candi Sewu.
Sistem Abjad Sunda
Ha - Na - Ca - Ra
Ka - Da - Ta - Sa - Wa - La
P - Dh - J - Y - Ny
M - G - B - Th - Ng
Penamaan hari pada jaman jawa kuno
- Soma (senin)
- Anggara (selasa)
- Buda (rabu)
- Respati (kamis)
- Sukra (jumat)
- Sanaicara (sabtu)
- Aditya (minggu)
Sunday, 9 May 2010
Berbagai profesi di jaman jawa kuno
- mapadahi (pemukul kendang)
- widu mangidung (penyanyi)
- pamanikan (pengrajin permata)
- limus galuh (pengrajin emas)
- payungan (pembuat payung)
- tuhan judi (pemimpin perjudian)
- tuhan jalir (pengelola pelacuran)
- padam apuy (pemadam api)
- walyan (dukun)
- wli hapu (pedagang kapur)
- wli hareng (pedagang arang)
- tuha dagang (ketua kelompoj dagang)
Jenis-jenis istilah kejahatan di masa jawa kuno
- tan kasahuraning pihutang (tidak membayar kembali utang)
- tan kawahaning patuwawa (tidak membayar uang jaminan)
- adwal tan drwya (menjual barang yang tidak dimiliki)
- tan kaduman ulihing kinabehan (tidak kebagian hasil kerjasama, atau persengketaan antar kopanyon)
- karuddhani huwus winehaken (minta kembali apa yang telah diberikan)
- tan kawehaning upahan (tidak memberi upah atau imbalan)
- adwa ring samaya (ingkar janji)
- alarambeknyan pamelinya (pembatalan transaksi jual beli)
- wiwadaning pinanwaken mwang mangwan (persengketaan antara pemilik ternak dengan penggebalanya)
- kahucapaning wates (persengketaan mengenai batas-batas tanah)
- dandaning saharsya wakparusya (hukuman atas penghinaan dan makian)
- pawrtining maling (pencurian)
- ulah sahasa (tindak kekerasan)
- ulah tan yogyaring laki stri ( perbuatan tidak pantas terhadap suami-istri)
- kadumaning drwya (pembagian hak milik atau pembagian warisan)
- totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian)
Penamaan Bulan Pada Tahun Saka
- Magha (januari-februari)
- Phalguna (februari-maret)
- Caitra (maret-april)
- Waisaka (april-mei)
- Jyesta (mei-juni)
- Asadha (juni-juli)
- Srawana (juli-agustus)
- Bhadrapada (agustus-september)
- Asuji (september-oktober)
- Kartika (oktober-November)
- Pausa (november-desember)
- Margasirsa (desember-januari)